Kode Etik Pemasaran Pengganti ASI telah digaungkan oleh dunia internasional sejak tahun 1981, bagaimana penerapannya di Indonesia? Apakah perusahaan produk Pengganti ASI telah tunduk pada kode etik tersebut?

***

International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes (Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti ASI) merupakan sebuah rekomendasi global yang diadopsi pada tahun 1981 dari hasil World Health Assembly (WHA) untuk mempromosikan nutrisi yang aman dan memadai untuk bayi, dengan perlindungan menyusui dan memastikan penggunaan pengganti ASI yang tepat, jika diperlukan. 

Tujuan dari Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti ASI adalah memberikan dukungan dan perlindungan terhadap proses menyusui dengan cara mengatur praktik perdagangan formula bayi dan produk Pengganti ASI (PASI) lainnya. Kode ini merupakan kode pemasaran yang ditujukan kepada produsen formula bayi dan Pengganti ASI lainnya, bukan untuk mengatur pemakainya.1

Harapannya dengan adanya suatu kode internasional yang mengatur tentang produk Pengganti ASI, maka dapat menekan masifnya promosi produk Pengganti ASI dan menumbuhkan kesadaran kembali pada masyarakat agar menguatamakan ASI untuk pemenuhan nutrisi bayi.

Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti ASI juga diharapkan dapat menjadi suatu dasar bagi otoritas dalam suatu negara membentuk regulasi yang mengatur hal serupa di negaranya sendiri. Sehingga dapat dibuat aturan-aturan yang mendukung ASI dan menekan penggunaan produk Pengganti ASI yang berlebih.

Bagaimana penerapan Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti ASI di Indonesia?

Indonesia telah memiliki beberapa regulasi yang dasarnya adalah membatasi promosi dan pemasaran produk Pengganti ASI. Beberapa peraturan tersebut :

  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2013 yang mengatur susu formula dan produk bayi lainnya
  • Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 15 Tahun 2014 yang berisikan larangan bagi tenaga kesehatan menerima atau mempromosikan susu formula bayi yang menghambat pemberian ASI eksklusif
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan 
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2014 Tentang Standar Mutu Gizi, Pelabelan, dan Periklanan Susu Formula Pertumbuhan Dan Formula Pertumbuhan Anak Usia 1-3 Tahun.

Regulasi yang telah disusun tersebut dapat menjadi dasar penerapan Kode Etik Internasional Pemasaran Pengganti ASI di Indonesia. Namun, penerapannya belum juga maksimal karena regulasi-regulasi tersebut belum dibarengi pemantauan dan evaluasi yang jelas dan tegas.

Beberapa kejadian pelanggaran kode etik sempat dimuat dalam berita-berita yang ditayangkan media Tirto.id, seperti salah satunya dalam berita yang berjudul “Dosa Etik Produsen Susu Formula” yang memberikan gambaran beberapa kasus pelanggaran kode etik. Pelanggarannya beragam, seperti mempromosikan produk Pengganti ASI di fasilitas kesehatan, promosi melalui tenaga kesehatan dan pemberian sampel gratis pada ibu yang usai menjalani proses persalinan.2

Pada tahun 2017, peneliti bernama Irma Hidayana, seorang kandidat doktor kesehatan dan perilaku di Universitas Columbia, Amerika Serikat, merilis laporan berjudul “Violations of the International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes: Indonesia Context.” Laporan ini menyebutkan 15 persen responden dari 874 perempuan yang diwawancarainya berkata pernah mendapatkan sampel gratis susu formula dari tenaga kesehatan.3

Tak hanya pemberian sampel gratis, pelanggaran kode etik pemasaran dapat ditemui lewat pemasangan sejumlah poster hingga banner di sejumlah fasilitas kesehatan. Laporan ini menunjukkan kendati sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang pemberian ASI eksklusif dan seperti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2013 yang mengatur tentang susu formula, pelanggaran kode etik itu masih jamak dilakukan karena kekuatan hukum yang lemah.

Promosi yang masif dan pelanggaran kode etik akan menyebabkan perusahaan-perusahaan produk Pengganti ASI akan berbondong beriklan, promosi dan berebut pasar. Dampaknya masyarakat tentu lambat laun dapat ‘tersihir’ oleh tawaran-tawaran menarik manfaat dari produk Pengganti ASI dan beranjak perlahan meninggalkan ASI.

Keadaan tersebut adalah keadaan terburuk yang dapat dibayangkan, karena dengan menurunnya nutrisi yang didapat generasi penerus, maka kemungkinan untuk menurunnya derajat kesehatan akan sulit untuk dihindari. Dalam jangka panjang tentunya akan berimplikasi pada kemajuan bangsa.

Tersedianya regulasi terkait pembatasan promosi dan pemasaran produk Pengganti ASI tidak lantas langsung dapat menyelesaikan masalah. Kendati berlapis, regulasi promosi dan pemasaran susu formula dan pangan bayi tetap tak bertaring. Mekanisme penegakkan hukumnya masih kabur.4 

Penting sekali dukungan dari semua elemen masyarakat, mulai dari keluarga, masyarakat, pelayanan kesehatan dan pemerintah untuk mengawasi praktek pemasaran Pengganti ASI sebagai salah satu upaya mendukung keberhasilan menyusui.

***

Sumber :

  1. World Health Organization. (1981). International code of marketing of breast-milk substitutes. World Health Organization. https://www.who.int/nutrition/publications/infantfeeding/9241541601/en/
  2. Tirto.id. 2018. Dosa Etik Produsen Susu Formula. Diakses dari situs https://tirto.id/dosa-etik-produsen-susu-formula-cJew pada 21 Oktober 2020.
  3. Hidayana, I., Februhartanty, J., & Parady, V. (2017). Violations of the International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes: Indonesia context. Public Health Nutrition, 20(1), 165-173. doi:10.1017/S1368980016001567 https://www.cambridge.org/core/journals/public-health-nutrition/article/violations-of-the-international-code-of-marketing-of-breastmilk-substitutes-indonesia-context/18D7DB0EF1FC86C3E105372247118EE6
  4. Tirto.id. 2018. Regulasi Ompong Menjerat Produsen Susu Bayi. Diakses dari situs https://tirto.id/regulasi-ompong-menjerat-produsen-susu-bayi-cJfn pada 21 Oktober 2020.