Home Penelitian Produk Pengetahuan Berita Tentang Kami

Bergabung untuk mendapatkan pengalaman pembelajaran terkait kesehatan

Atau

Contact us

Kawal Penurunan Angka Perkawinan Anak untuk Mencapai Bonus Demografi yang Sehat dan Produktif

2023-04-18

Oleh

Oleh: Nur Wulan Nugrahani, S.K.M

Staf Yayasan Pusat Inovasi Kesehatan

 

Kilas Perkawinan Anak dalam Menyambut Bonus Demografi

 

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, sebanyak 68,82 juta jiwa penduduk Indonesia masuk dalam kategori pemuda usia 16-30 tahun. Angka tersebut porsinya mencapai 24% dari total penduduk. Dengan pertumbuhan populasi ini, berbagai laporan telah memperkirakan bahwa Indonesia akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030 mendatang, dimana presentase kelompok pemuda usia produktif (usia kerja) lebih banyak dari kelompok usia tidak produktif. Bonus demografi sejatinya dapat menjadi kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun hal ini juga merupakan tantangan yang perlu dijawab untuk memastikan agar fenomena ini tidak berbalik menjadi beban demografi.

 

Selain itu, jika perkembangan bonus demografi tidak diimbangi dengan upaya peningkatan kesetaraan gender, maka bonus demografi tersebut justru dapat memperburuk ketidaksetaraan gender. Hal yang berkaitan antara fenomena ketidaksetaraan gender dengan bonus demografi adalah perkawinan anak atau perkawinan di bawah umur. Data BPS menunjukkan bahwa 33,76% pemuda di Indonesia mencatatkan usia kawin pertamanya di rentang 19-21 tahun. Ada juga 19,24% pemuda yang pertama kali menikah berusia di bawah 16-18 tahun. Bahkan masih terdapat 2,26% pemuda yang menikah di usia kurang dari 16 tahun.

 

Sebetulnya berbagai upaya dari pemerintah telah dilakukan untuk mempercepat penurunan perkawinan anak dengan komitmen negara pada Tujuan 5 pada Sustainable Development Goals (SDGs) terkait penghapusan semua praktik berbahaya termasuk perkawinan anak pada 2030. Pengejawantahan komitmen ini salah satunya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun. Namun faktanya, walaupun telah didukung dengan pengesahan Undang-Undang, masih terdapat 50.673 dispensasi perkawinan di bawah umur yang diputus pada tahun 2022. Memang terdapat penurunan sebesar 17,54% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (61.449 kasus), namun angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2019  sebanyak 23.126 kasus.

 

Risiko yang Dihadapi Remaja dalam Perkawinan Anak

 

Remaja yang terlibat dalam perkawinan anak dihadapkan pada berbagai tantangan, namun dapat dikatakan bahwa beban paling besar dialami oleh remaja perempuan. Hamil di usia muda berisiko terjadi komplikasi persalinan yang dapat berujung pada kematian ibu. Hingga saat ini, Angka Kematian Ibu (AKI) masih berada dalam kisaran 305 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini karena masa remaja masih dalam tahap perkembangan sehingga organ reproduksinya belum siap secara maksimal.

 

Selain itu, kehamilan pada usia dini dapat menimbulkan efek negatif pada kesehatan ibu dan bayinya. Bayi yang lahir dari ibu berusia kurang dari 20 tahun hampir 2 kali lebih mungkin meninggal selama 28 hari pertama dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu berusia 20-29 tahun. Risiko lain yang dihadapi antara lain kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR), dan perdarahan pasca persalinan yang dapat membahayakan baik ibu maupun bayi.

 

Ketidaksetaraan gender yang masih mengakar dalam kondisi sosial juga turut berkontribusi pada risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dimana remaja perempuan lebih rentan menghadapi hal tersebut. Ketidakmatangan emosional, sosial, dan psikologis dari remaja yang menikah dini membuat mereka lebih rentan terhadap hal tersebut. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di tahun 2022, dimana jumlah tersebut meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya.

 

Upaya untuk Mempercepat Penurunan Angka Perkawinan Anak

 

Banyak hal yang bisa diupayakan untuk mempercepat penurunan angka perkawinan anak. Salah satu upaya mendasar adalah menyediakan informasi dan edukasi reproduksi dan seksualitas yang komprehensif bagi remaja yang dapat diintegrasikan dalam kurikulum nasional di sekolah. Penting untuk menanamkan pemahaman biologis yang menyeluruh sehingga remaja dapat mengetahui perkembangan yang sedang dijalani dalam masa pubertas serta pemahaman nilai dan konsep diri sebagai bagian dari pemberdayaan remaja. Di lingkungan komunitas, dapat dilaksanakan kegiatan Posyandu Remaja untuk meningkatkan akses remaja terhadap pelayanan kesehatan. Keterlibatan orang dewasa seperti orang tua, guru, dan pemuka komunitas juga penting untuk mendorong terwujudnya lingkungan yang aman dan ramah remaja dari lingkup terkecil sehingga remaja merasa aman untuk mencari informasi dan mengakses layanan kesehatan tanpa rasa khawatir. Tidak lupa bahwa peran pemerintah juga sangat krusial untuk mendorong undang-undang dan peraturan yang mencegah perkawinan anak terjadi sekaligus untuk mendukung agar remaja dapat tumbuh dengan sehat dan berdaya.

 

Penutup

 

Upaya yang dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan dalam penurunan angka perkawinan anak sudah mulai menampakkan hasil meskipun masih banyak terdapat peluang untuk mempercepat penurunannya mencapai target SDGs. Dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dan akses ke layanan kesehatan yang baik, serta melindungi hak-hak anak, baik pemerintah, lembaga masyarakat, masyarakat, dan juga remaja itu sendiri dapat berkontibusi membangun generasi yang lebih sehat dan lebih produktif untuk kemajuan negara.

 

 

Sumber: